Batik Meru: Filosofi Gunung Mahameru dalam Tradisi Batik Yogyakarta

Pangesti PNG

Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang sarat akan nilai-nilai filosofis dan kearifan lokal. Setiap motif batik memiliki cerita dan makna tersendiri yang kerap kali berkaitan erat dengan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat setempat.

Salah satu motif batik yang memiliki nilai spiritual tinggi dan erat kaitannya dengan tradisi Yogyakarta adalah Motif Batik Meru.

Batik ini dipercaya memiliki kekuatan magis yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat Yogyakarta terhadap alam semesta dan keberadaan Sang Pencipta.

Asal Usul Nama Batik “Meru”

Kata “Meru” berasal dari kata Mahameru, nama sebuah gunung yang dianggap sakral dalam tradisi Hindu dan Buddha. Gunung Mahameru dipercaya sebagai tempat tinggal atau singgasana bagi tiga dewa utama dalam kepercayaan Hindu, yaitu Tri Murti.

Tri Murti terdiri dari Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma, dan Sang Hyang Siwa, yang masing-masing memiliki peran sebagai pemelihara, pencipta, dan penghancur dalam siklus kehidupan.

Gunung ini diyakini sebagai poros dunia dan sumber dari segala kehidupan. Oleh karena itu, Meru sering dihubungkan dengan keagungan, kemakmuran, serta kebahagiaan hidup.

Di puncak Gunung Mahameru, menurut kepercayaan masyarakat, terdapat air keramat yang disebut tirta kamandalu. Tirta kamandalu dipercaya sebagai air kehidupan abadi yang menjadi sumber dari segala kehidupan di dunia. Air ini menjadi simbol dari kemurnian, kesucian, dan berkah ilahi.

Dalam kepercayaan tersebut, air suci ini memberikan keberkahan dan kesejahteraan kepada siapa pun yang dapat mengaksesnya. Itulah mengapa motif Meru dalam batik diharapkan dapat membawa keberkahan, kemakmuran, dan kebahagiaan bagi pemakainya.

Filosofi Tri Murti dalam Motif Batik Meru

Tri Murti, yang terdiri dari tiga dewa utama, yaitu Wisnu (pemelihara), Brahma (pencipta), dan Siwa (penghancur), dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, kemakmuran, dan kebahagiaan.

Filosofi ini mencerminkan siklus hidup yang terus berputar: kelahiran, kehidupan, dan kematian. Siklus ini dianggap sebagai proses alami yang harus dilalui setiap makhluk hidup, dan Tri Murti menjadi simbol dari harmonisasi kehidupan itu sendiri.

Dengan keyakinan tersebut, masyarakat Yogyakarta mewujudkan pandangan dan kepercayaan mereka dalam bentuk seni batik, khususnya melalui motif Meru.

Motif ini tidak hanya sekadar hiasan atau ornamen, tetapi juga mengandung doa dan harapan agar pemakainya selalu mendapatkan berkah dari Tri Murti.

Batik Meru menjadi medium untuk menyampaikan doa-doa tersebut, sekaligus menunjukkan hubungan manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta.

Bentuk dan Ciri Khas Motif Batik Meru

Motif Batik Meru biasanya menggambarkan bentuk gunung yang megah, dengan puncak yang menjulang tinggi ke langit. Puncak gunung ini melambangkan Gunung Mahameru yang dianggap suci.

Bagian bawah motif sering kali dihiasi dengan unsur-unsur alam seperti awan, air, dan pepohonan, yang menggambarkan keseimbangan antara manusia dan alam.

Selain itu, motif ini juga bisa dipadukan dengan simbol-simbol lain seperti burung, bunga, atau daun yang melambangkan kehidupan, keberanian, dan kesuburan. Penggunaan warna pada motif Meru juga memiliki makna tersendiri.

Warna-warna seperti cokelat, hijau, dan biru sering digunakan untuk melambangkan unsur-unsur alam, sementara warna emas atau kuning menggambarkan kemuliaan dan kejayaan.

Dalam budaya Yogyakarta, setiap unsur motif dan warnanya memiliki makna yang sangat mendalam, menggambarkan harmonisasi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Ingin memiliki pakaian motif batik?Yuk, kunjungi katalog Prabuseno dan miliki koleksi batik terbarunya!

Artikel Lainnya

Bagikan:

Pangesti PNG

Seorang Copywriter, Graphic Designer dan Brand Consulting.

Leave a Comment